Buku Sosial Politik - AKUNTABILITAS BIROKRASI DI INDONESIA

Buku Sosial Politik

Penulis         : Dr. Bambang Sudaryana, M.Si.
Kategori       : Buku Ajar
Bidang Ilmu : Buku Sosial dan Politik

Buku Sosial dan Politik | Sikap heroik masih terlihat di wajah birokrasi Indonesia saat itu, Bapakisme menjadi trend yang terus berkembang dalam suasana serba kesederhanaan, namun ethos membangun rasa cinta nasionalisme yang tinggi selalu menggelora, Merdeka Bung.

Budaya birokrasi secara sederhana dapat diartikan sebagai norma-norma yang mempengaruhi sikap dan perilaku partisipan dalam sebuah sistem birokrasi. Rohdewohld (1995) menulis bahwa budaya organisasi itu dapat diartikan sebagai: "The set of values, attitudes, norms, shared beliefs and mental orientations that shape and determine the behavior and expectations of the members of that organization”. Sistem nilai dan norma-norma apakah yang telah membentuk wajah birokrasi kita? Banyak yang berpendapat bahwa wajah birokrasi Indonesia masih kental dipengaruhi oleh sistem nilai tradisi Jawa sebagaimana yang sering tampak dalam retorika politik para pejabat, proses pembuatan keputusan, hubungan dan komunikasi atasan-bawahan yang bercorak hubungan patron dan klien, mengandalkan loyalitas bawahan yang tinggi dan berbagai macam ritualisme administrative yang berlebihan. Selain itu juga ciri-ciri birokrasi seperti: lebih banyak berorioentasi ke atas, mengkultuskan pribadi pemimpin, kuatnya kesadaran akan prestise dan status yang melebihi prestasi, sikap untuk selalu menjaga harmoni dan menghindari konflik, telah mengakibatkan birokrasi kita menjadi tertutup dan kurang memberi ruang gerak bagi pendapat yang berbeda (lihat misalnya dalam Moeljarto, 1989). Pelestarian nilai-nilai tradisi budaya aristokrads tersebut di atas telah mempersubur munculnya budaya keluarga besar yang cenderung mendomestifikasikan nilai-nilai yang sebenamya bersifat self righteouseness yang tentu saja sangat merugikan bagi "Keluarga - kecil" atau keluarga-lain".

Walaupun birokrasi kita masih banyak dipengaruhi oleh nilai-nilai budaya lokal yang patrimonialistik tetapi juga telah mengadopsi nilai-nilai birokrasi ala Weber (Weberian type bureaucracy) yang murni yang banyak bernuansa rule governed. Dualisme budaya birokrasi seperti ini seringkali. Menampilkan sosoknya yang unik. Di satu sisi menampilkan sikap dan perilaku aparat yang harus tunduk sepenuhnya pada keinginan pimpinan, menjaga harmoni dan menghindari perbedaan pendapat, alon-alon angger kelakon, ojo nggege mongso, mikul dhuwur-mendhem njero, jer basuki mowo beyo, dan ing ngarso sung tulodo ing madya mangun karso - tut wuri handayani. Mempertemukan dua ciri budaya birokrasi (struktural dan kultural) seperti tersebut diatas sebenamya sah-sah saja dan mungkin baik. Mengambil over begitu saja ciri budaya birokrasi mana pun tanpa menyaring atau mencermati sisi-sisi negatifnya bisa menimbulkan bias administratif yang sangat merugikan. Karena kita sekarang akan segera memasuki millenium ketiga yang dikenal dengan era informasi, maka tidak mungkin lagi kita tetap bersikap menutup diri dari gelombang pengaruh luar yang akan menerpa kita kalau kita ingin survei dan exist dalam percaturan global. Masalahnya adalah globalisasi seringkali membawa daya emansipatif yang sangat tinggi yang seringkali tidak kita duga sebelumnya.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Buku Sosial Politik - Berburu Rente di Pulau Batam

Buku Sosial Politik - Corporate Social Responsibility dalam Perspektif Governance

Buku Sosial Politik - Kerumpangan dan Banalitas Politik